5 September 2009

Bahaya "Kresek" dan Styrofoam

Tiba-tiba saja kantung plastik kresek menjadi pembicaraan masyarakat luas, setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meminta konsumen agar berhati-hati dan tidak menggunakan kantung itu untuk mewadahi makanan. Juga perlu diwaspadai penggunaan kemasan styrofoam dalam kondisi tertentu untuk mewadahi makanan (Suara Merdeka, 15 Juli 2009). Apa ada dengan kresek dan styrofoam?


Kemasan makanan merupakan bagian dari makanan yang sehari-hari kita konsumsi. Bagi sebagian besar orang, kemasan makanan hanya sekadar bungkus, bahkan cenderung dianggap sebagai ’’pelindung’’ makanan. Sebetulnya tidak tepat begitu, karena sangat tergantung dari jenis bahan kemasannya.
Meski demikian, kita harus cermat memilih kemasan makanan. Kemasan pada makanan mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi, dan informasi. Ada begitu banyak bahan yang digunakan sebagai pengemas primer pada makanan, yaitu kemasan yang bersentuhan langsung dengan makanan. Tetapi tidak semua bahan ini aman bagi makanan yang dikemasnya.

Sinyalemen BPOM tentang perlunya berhati-hati dalam menggunakan kantung kresek berwarna (terutama hitam), lebih disebabkan proses daur ulang yang menyertainya. Padahal, dalam proses daur ulang, peruntukan sebelumnya tidak diketahui. Ada kemungkinan semula bekas wadah pestisida, limbah logam berat, maupun bahan berbahaya dan beracun lainnya.

Namun demikian, dalam membuat plastik tahan panas, biasanya ditambahkan senyawa penta-kloro-bifenil (PCB) yang juga berfungsi sebagai satic agent. Karena itu, PCB ikut menentukan kualitas plastik. Plastik tahan panas sangat dimungkinkan mengandung PCB lebih banyak.

Pengaruh keracunan PCB pada manusia telah lama diketahui. Di Jepang, keracunan ini menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai Yusho. Penyebabnya, warga setempat menyantap makanan yang diproduksi oleh pabrik yang memakai pipa PVC untuk mengalirkan minyak goreng. Akibatnya, makanan tercemar PCB yang berasal dari PVC (paralon).

Tanda dan gejala keracunan ini berupa pigmentasi pada kulit dan benjolan-benjolan, gangguan perut, serta tangan dan kaki lemas. Pada wanita hamil mengakibatkan kematian bayi dalam kandungan serta bayi lahir cacat.

Sedangkan pengaruh keracunan menahun pada manusia oleh PCB antara lain kematian jaringan hati dan kanker hati. Karena itulah, untuk mengurangi bahaya plastik bagi kesehatan dan lingkungan hidup, dianjurkan sesedikit mungkin menggunakan plastik untuk berbagai keperluan.

Kemasan Styrofoam Bahan pengemas styrofoam atau polystyrene telah menjadi salah satu pilihan terpopuler dalam bisnis pangan. Tetapi, riset terkini membuktikan bahwa keamanan styrofoam diragukan. Styrofoam yang dibuat dari kopolimer styren ini menjadi pilihan bisnis pangan, karena mampu mencegah kebocoran dan tetap mempertahankan bentuknya saat dipegang.

Bahan tersebut juga mampu mempertahankan panas dan dingin, namun tetap nyaman dipegang, mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas. Biayanya pun murah, dengan tampilan yang lebih ringan dan ’’aman’’.

Styrofoam yang sering digunakan untuk membungkus makanan atau kebutuhan lain juga dapat menimbulkan masalah. Hasil survei di AS (1986) menunjukkan, 100 persen jaringan lemak orang Amerika mengandung styrene yang berasal dari styrofoam. Penelitian dua tahun kemudian menyebutkan, kandungan styrene sudah mencapai ambang batas yang bisa memunculkan gejala gangguan saraf.

Demikian pula penelitian di New Jersey. Ditemukan 75 persen air susu ibu (ASI) telah terkontaminasi styrene. Hal ini terjadi akibat si ibu menggunakan wadah styrofoam saat mengonsumsi makanan. Penelitian yang sama juga menyebutkan, styrene bisa bermigrasi ke janin melalui plasenta pada ibu-ibu hamil.

Dalam jangka panjang dapat mengakibatkan penumpukan styrene dalam tubuh, dan menimbulkan gejala-gejala sistem saraf seperti kelelahan, gelisah, sulit tidur. Bahkan styrofoam dapat menyebabkan kemandulan atau menurunkan kesuburan. Anak yang terbiasa mengonsumsi styrene bisa kehilangan kreativitas dan pasif.

Pada Juli 2001, Divisi Keamanan Pangan Pemerintah Jepang mengungkapkan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Residu itu dapat menyebabkan endocrine disrupter (EDC), yaitu penyakit berupa gangguan sistem endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia karsinogen dalam makanan.

Penanggulangan Banyak sekali bahaya yang ditimbulkan melalui penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan/minuman. Celakanya, sebagian besar dari konsumen tak pernah menyadarinya (lihat pula Mengapa Berbahaya?).

Pencegahan sedapat mungkin harus menghindari penggunaan styrofoam untuk makanan atau minuman panas. Sebagaiman halnya plastik, suhu tinggi menyebabkan perpindahan komponen kimia dari styrofoam ke dalam makanan.

Jangan memasukkan wadah plastik untuk makanan ke dalam microwave, kecuali wadah plastik yang khusus dan tertulis untuk microwave.

Upaya penanggulangan yang dapat dilakukan antara lain mengurangi penggunaan kantung plastik sekarang juga. Gunakan tas kain setiap kali berbelanja. Jika hanya membeli sedikit, masukkan barang belanjaan ke dalam tas.

Penanggulangan limbah plastik juga bisa diatasi dengan membuat plastik ramah lingkungan, yaitu plastik yang terbuat dari makhluk hidup yang bisa diurai tanah.

Misalnya biobag, yaitu sejenis kantung plastik yang terbuat dari kulit jagung (mates-bi). Ada juga plastik yang terbuat dari kelapa sawit. Selain kedua cara di atas, limbah plastik bisa juga ditanggulangi dengan pengolahan limbah plastik menjadi barang berharga. (32)

—Prof Dr dokter Anies MKes PKK, guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran Undip; pakar kedokteran lingkungan.

Tidak ada komentar: